Hujan (dedicated to Miss @melisawu)

Helloooo… Lately I was inspired by Miss Bananacake, Melisa Sanchiagoh to write a short story, but I think this one will be a little bit long short story. Because this one is requested by her so lets pretend this character is her.

I won’t abandon this story because I’m so excited to finish it. I’ll post the teaser first.

***

Hujan. Wanita itu sangat suka saat hujan datang. Dia selalu menantikan kapan musim hujan tiba. Bisa dikatakan musim hujan adalah favoritnya. Dia tidak begitu mengerti mengapa dia begitu menyukai hujan. Dia sempat berpikir mungkin ada keterkaitan antara hujan dan namanya, Raina.

Dia menyukai saat rintik hujan menyentuh telapak tangannya. Rasa dingin air hujan itu terasa menyegarkan baginya. Dia menyukai bau rumput basah di pagi hari karena hujan malam sebelumnya. Baginya itu adalah satu – satunya aroma alam di tengah kota yang mulai ramai ini. Dia sebenarnya sensitif terhadap udara dingin, tetapi udara dingin di saat hujan seolah sebuah pengecualian untuknya. Dia bisa berselimut di atas tempat tidur sambil mendengarkan lagu atau membaca buku. Atau keduanya. Dia suka hujan karena dengan begitu dia bisa menikmati secangkir teh atau coklat hangat. Sensasinya sangat berbeda dari yang biasa, katanya. Dia juga suka mendengar suara gemercik hujan yang jatuh ke tanah. Baginya suara itu dapat menjadi melodi pengantar tidurnya.

Pertama kali Raina bertemu pria itu juga di hari saat hujan turun. Waktu itu sepulang kuliah, tiba – tiba hujan turun dengan derasnya. Raina kebetulan tidak membawa payung berlari – lari mencari tempat untuk berteduh. Satu – satunya tempat terdekat adalah sebuah warung kaki lima yang menjual wedang jahe. Mau tidak mauRaina menuju ke warung itu dan memutuskan untuk membeli semangkuk wedang sambil menunggu hujan reda.

Demi Tuhan dia sangat benci jahe, tapi tidak mungkin dia hanya menumpang untuk duduk hingga hujan itu reda. Paling tidak dia dapat menghangatkan badannya yang mulai mengigil itu. Di warung itu hanya ada dirinya dan seorang pria yang dia yakini juga sedang berteduh disana.

“Terima kasih, Bu.”, katanya pada si penjual setelah mengantarkan pesanannya. Raina sengaja berlama – lama mengaduk wedangnya itu. Selain masih panas, sebisa mungkin dia menunda untuk meminumnya. Bisa dia bayangkan bagaimana rasa cairan coklat itu. Pedas, panas, dan pastinya sangat tidak enak di lidahnya. Bagi Raina jahe adalah racunnya.

“Kenapa belum dimimum wedangnya? Nanti dingin.”, tiba – tiba pria itu bersuara. Raina menggerakan kepala untuk menatap pria yang duduk berseberangan dengannya. Sejak kedatangannya tadi, baru kali ini Raina benar – benar melihat wajahnya. Ada sesuatu yang familiar saat Raina mengamati wajahnya. Dia merasa pernah bertemu dengannya, tetapi tidak bisa mengingat kapan.

“Masih panas, Mas.”, jawab Raina sekenanya. Pria di depannya hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Raina.

“Bukannya memang harus begitu?”, tanya pria itu lagi.

“Selera orang kan beda – beda, Mas.”, jawab Raina lagi. Pria itu kemudian hanya mengangguk – anggukkan kepalanya dan melanjutkan menyantap wedangnya. Saat pria itu mengangkat sendoknya, Raina melihat ada yang tidak biasa dari wedang yang diminumnya.

“Mas, kenapa wedang punya Mas berbeda?”, tanya Raina penasaran.

“Oh, ini wedang susu.”, jawabnya singkat.

Raina melongo mendengar jawabannya. Bukan karena dia merasa aneh dengan jenis wedang itu. Dia pernah mendengar bahkan menyantap wedang susu. Raina menatap sedih wedang yang dia beli. Andai dia tahu di warung ini juga menjual wedang susu, dia pasti tidak harus menderita menghabiskan wedang jahe yang dia beli.

“Kenapa?”, tanya pria itu.

Raina hanya menggeleng lemah dan mulai menyeruput air jahe itu. Satu sendok.. Dua sendok. Sebaik apapun suatu hal, bila kita sudah membencinya, hal itu tetap saja buruk di mata kita. Raina hanya berharap agar hujan lebih cepat reda supaya dia tidak perlu menghabiskan semuanya.

Ditengah kesedihannya itu, tiba – tiba saja pria tadi menaruh semangkuk wedang susu di samping mangkuk wedang jahenya. Asap yang masih mengepul diatasnya menandakan wedang ini baru saja dipesan. Raina mendingakkan kepalanya ke arah pria itu dan menatapnya penuh tanya.

“Kamu tidak suka wedang jahe kan?” Raina masih terus menatapnya. Kali ini dia merasa bingung. Bukan bingung karena pria itu mendadak tahu rasa tidak sukanya, tetapi dia bingung mengapa dia tiba – tiba meletakkan satu mangkuk wedang lagi di hadapannya. Untuknya.

Sambil mengehela napas, pria itu kemudian mengambil wedang jahe Raina ke bagian mejanya dan menaruh wedang susu tadi tepat di hadapan Raina. Tanpa banyak bicara dia menyantap wedang jahe Raina, sedangkan Raina hanya bisa mengucapkan terima kasih sebelum dia menyantap wedang susu itu. Saat itu muncul perasaan di dalam diri Raina yang sudah lama tidak dia rasakan lagi. Sama dengan wedang susu yang dia santap. Manis dan hangat.

**


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *