Review: Notasi – Morra Quatro

290 pages

Publisher: Gagas Media

Published: 2013

Genre: Fiction – Non fiction I think, Romance

Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung.
Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segera setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.

Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi.
Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap.
Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.
Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu…. (Goodreads)

 

My Thoughts:

Biasanya aku selalu melewati bagian prakata sebuah buku, tapi bagian dari buku ini… It made me speechless.

Sudah lama aku mencari buku ini di toko – toko buku di Jogja, tapi baru menemukannya beberapa bulan belakangan dan baru saja aku beli. Hal yang membuat aku pertama kali tertarik dengan buku ini adalah kata ‘Pogung’ yang terlihat oleh mataku saat ingin membaca sinopsisnya.

Saar awal membaca buku ini aku merasa bernostalgia. Kata – kata seperti Swaragama FM, KPTU, UGM, Boulevard UGM, Sagan, Sendowo, Selokan Mataram, dll membuat pikiranku membayangkan suasana dan bangunan di lokasi tersebut. Kata – kata yang sepele tapi berbekas bagi orang – orang yang pernah tinggal di Jogja dan kuliah di UGM. Bahkan aku yang masih tinggal di kota pelajar inipun seolah tertarik kembali untuk mengenang masa – masa lalu.

Aku berani mengatakan di antara buku – buku yang ada di dalam list favoritku, buku ini lah yang terbaik.

Ini adalah kisah para mahasiswa UGM pada zaman Orde Baru, disaat sedang marak – maraknya demonstrasi waktu itu. Orde Baru. Peristiwa 98. Aku memang sangat penasaran dengan kejadian itu. Selalu bertanya – tanya apa penyebab demonstrasi sampai seanarkis itu. Apa yang menyebabkan etnis China ditindas waktu itu. Tahun 98 yang aku ingat adalah jendela rumahku pecah dan aku sekeluarga langsung di ungsikan di rumah sepupuku, orang – orang melempari gedung – gedung dengan batu, dan aku sekeluarga buru – buru membuat passport waktu itu. Hanya ingatan dari bocah 5 tahun dan masih membekas hingga sekarang. Di buku ini setidaknya aku mendapatnya jawabannya secara umum. Aku mendapatkan gambaran bagaimana itu zaman Orde Baru. Jujur aku merinding membaca adegan invasi pasukan militer di FKG UGM yang diceritakan di buku ini. Aku juga tercengang membaca adegan demonstrasi yang diungkapkan oleh penulis.

Buku ini sebenarnya adalah buku jenis romance yang disisipi peristiwa tahun 98 itu. Berkisah tentang Nino, mahasiswa Teknik Elektro UGM dan Nalia, mahasiswa Kedokteran Gigi UGM. Kisah ini terasa lain dari kisah – kisah romance yang pernah aku baca, dan mungkin ini lah yang membuat chemistry di antara mereka sulit aku hilangkan. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata – kata, manis tapi menyesakan. Aku rasa semua hal ada di dalam buku ini. Cinta, persahabatan, rahasia, kebencian, rasa takut akan kehilangan, khawatir, perpisahan, janji – janji… Semuanya ada sampai aku tidak tahu harus merasa apa lagi.

Untuk kalian pendengar radio Swaragama FM, disini juga diceritakan sejarah berdirinya, frekuensi awalnya, dari saat mereka siaran secara ilegal hingga mendapat frekuensi radio secara legal. Ini adalah radio pertama yang di dirikan oleh mahasiswa. Setidaknya seperti itu lah yang diungkapkan oleh penulis.

Bagi kalian, teman – teman yang telah meninggalkan Jogja, kalian pasti akan merasakan rindu saat membaca buku ini. Deskripsi tempat – tempat di sekitar kampus kita sangat jelas. Deskripsi kehidupan mahasiswa, terutama mahasiswa teknik. Saat membaca ini aku penasaran untuk mencari jejak – jejak yang ditinggalkan oleh penulis, apakah benar – benar ada di kampus teknik itu.

Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi biarlah seperti ini saja. Ada beberapa buku yang membuatku tidak bisa move on darinya, terbayang – bayang, dan buku ini adalah salah satunya. Seperti yang dikatakan Sabil “Jogja dalam cerita itu, baper.”

Ada banyak kata – kata indah dan sangat mengena di diriku, tapi aku hanya mendandai beberapa:

“Saat – saat istimewa dalam hidup kita selalu datang tanpa perintah. Seringnya tidak kita sadar ada saat – saat dalam hidup yang kemudian akan menjadi momen spesial, meski itu sedang berlangsung. Seringnya kita justru menyadarinya setelah semua berlalu. Seperti saat kulihat Nino di bawah lampu jalan itu. Itulah pertama kali – diantara waktu – waktu yang sangat sedikit aku sungguh – sungguh menatap figurnya, yang membuatku terpana lama. Semacam sebuah semangat.”

“Aku telah belajar bahwa tidak memiliki teman bicara pada saat kita ingin bicara dengan seseorang itu rasanya sungguh tidak enak.”

“Pada akhirnya, segala hal dalam hidup itu harus berubah. Walau hanya sedikit.”


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *