Review of a tiny part of Inspigo: Merawat Bahagia-Adjie Santosoputro

Kadang yang kita anggap penting itu tidak benar-benar penting. Karena pikiran yang ruwet dan gak tenang, maka semuanya terlihat penting. – Adjie S.

Sebelum mendengar pernyataan ini, aku selalu menganggap semua hal yang aku kira akan aku kerjakan itu penting. Contohnya, belajar IELTS itu penting untuk mendaftar program S2 dan beasiswa. Di samping itu aku merasa harus memantau info terkait dengan kedua hal itu. Di luar masalah perkuliahan itu, aku juga merasa harus belajar hand lettering dan berlatih menggambar. Menurutku itu penting karena aku suka kegiatan itu dan siapa tahu bisa dikembangkan, kemudian dijadikan bisnis sampingan. Selain itu, aku harus membaca buku-buku yang sudah tertumpuk tinggi dan belum pernah dibaca sama sekali. See? Terlalu banyak hal penting yang harus dilakukan dalam satu waktu.

Namun, harus kalian tahu aku meninggalkan itu semua setelah memproses informasi yang sudah aku dapat dari sesi “Merawat Bahagia.” Benar juga, semua hal yang sudah aku sebutkan itu ternyata tidak benar-benar penting, paling tidak untuk saat ini. Mereka hanyalah bagian dari keinginan sesaat ku karena aku punya kecenderungan melakukan hal lain dan terkadang bersifat baru untuk mengalihkan rasa jenuh. Maka aku pun mulai merelakan mereka pergi satu per satu.

Ada satu faktor yang seringkali membuat kita memiliki pikiran bahwa kita harus melakukan semua hal yang dianggap penting itu, yaitu perasaan tergesa-gesa. Tanpa disadari kita menjalani hidup ini seperti dikejar-kejar, entah waktu atau pun tuntutan, baik tuntutan yang kalian buat sendiri maupun tuntutan dari orang lain.

Maka dari itu, kita diajak untuk hening sejenak, menyadari apa yang ada di depan kita dan mensyukurinya. Kita diajak untuk mengikhlaskan keinginan-keinginan tersebut dengan cara merasa cukup dengan kondisi saat ini. Sebab, seringkali kita tidak sadar bahwa oleh perasaan tergesa-gesa itu lah kita mengabaikan hal-hal yang sebenarnya lebih penting daripada kepentingan yang kita anggap penting itu.

Terus, bagaimana jika kita masih dibayang-bayang oleh rasa cemas? Misalnya, (dengan jujur saya katakan) saat ini aku tidak bekerja. Kalau mau agak ngenes, nganggur. Awalnya aku merasa insecure dan malu juga sih. Bayangin di saat teman-temanku punya pekerjaan, bahkan beberapa sudah jadi manager entah dari kapan, sudah pada kuliah lagi dan sudah banyak juga yang lulus S2, tapi hidupku masih gini-gini aja. Memang sebelum resmi berhenti bekerja aku merasa merdeka. Akhirnya lepas juga dari perbudakan korporat, tapi seminggu setelah resmi nganggur baru terpikir “mampus gue, kalo ga cari kerja sekarang dapet duit dari mana,” “bakal mikir apa recruiter gue nanti kalo gue kelamaan nganggur,” dst dst.

Pada masa-masa itu, aku menganggap sesuatu yang sudah aku putuskan itu tolol. Namun, ada satu kalimat dari Adjie yang sangat menenangkan dan membuatku lepas dari rasa bersalah itu.

Apa yang negatif beneran negatif? Yang pahit belum tentu pahit, yang manis belum tentu manis.

Di saat itu, ada satu pikiran yang terlintas. Iya juga, baru sekarang aku benar-benar bisa menulis dan menghidupkan blogku lagi. Aku memang tidak punya pekerjaan saat ini, tapi aku punya banyak waktu untuk belajar hal-hal baru yang selama itu tertahan selama bekerja. Aku malah lebih produktif dengan tidak dipekerjakan oleh pihak lain. Dan akhirnya, aku pun sadar bahwa aku lupa salah satu alasan dari keputusan berhenti ini adalah untuk beristirahat. Pada akhirnya, aku nikmati saja waktu ini.

Memang ada kalanya aku masih merasa malu dan cemas karena kondisi saat ini, tapi aku berusaha untuk selalu menepis pikiran negatif itu setiap kali mereka muncul. Apa salahnya tidak punya pekerjaan? Tidak punya pekerjaan (seperti yang menjadi pandangan umum orang banyak) belum tentu tidak bekerja. Ini hanya masalah mindset dan perspektif. Aku selalu mengingatkan diriku untuk tidak perlu malu. Kenapa aku harus malu? Aku hanya manusia dan tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

Berkaitan dengan hal ini, ternyata ada beberapa orang yang mengalami dan merasakan hal yang serupa saat ini. Berat rasanya, it’s like you are in the lowest point of the world. Mungkin bagi yang paranoid sampai berpikir bahwa orang-orang di sekitar punya pandangan negatif tentang dirinya, padahal tidak. Oleh karena itu, kita diajak untuk mengambil jeda agar siklus suffering itu terputus. Jalani dan hadapi saja apa yang ada di hadapanmu. Tidak usah sibuk menghakimi apakah ini musibah atau berkah. Sebisa mungkin kita lampaui pikiran itu. Percaya, rasanya akan lebih lega. Terima saja.

Di dalam sesi interview ini disebutkan bahwa beberapa orang sukses adalah mereka yang terlatih untuk berpikiran hening. Dalam keheningan itu lah kita terlatih untuk ikhlas dan di dalam keheningan itu terdapat keberanian untuk tidak bekerja keras.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa kita saat ini hidup di zaman yang serba cepat dan tergesa-gesa, maka kita diajak untuk memperlambat laju itu dan mendapatkan waktu untuk beristirahat. Kesuksesan memang selalu dipandang sebagai hasil dari kerja keras, tapi di satu sisi kita juga diharapkan mampu pasrah akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sukses yang sehat tidak bisa dicapai dengan hanya bekerja keras karena akan menyiksa diri kita. Harus ada keseimbangan antara kerja keras dan keikhlasan itu, karena ada beberapa hal yang berada di luar kendali kita.

Jadi, untuk teman-teman yang saat ini sedang berjuang mendapatkan masa depan yang kalian inginkan, well, aku rasa semua orang sedang melakukan itu saat ini. Semua orang berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. JIka memang hal itu lah yang kalian inginkan dan kalian percaya akan mimpi itu, maka lakukanlah hal yang perlu kalian lakukan untuk mendapatkannya tanpa harus menyiksa diri kalian. Kalau pada akhirnya kalian gagal, berarti mimpi itu bukanlah mimpi yang tepat untuk kalian. Aku percaya Tuhan yang tahu apa yang terbaik bagi kita. Oleh karena itu, di balik setiap kegagalan itu pasti ada maksud tertentu yang bisa kalian sadari beberapa lama kemudian.

Setelah mendengar podcast ini, aku pribadi kemudian memutuskan untuk melepaskan semua beban yang selama ini aku pikul. Ku relakan semua mimpiku. I let them go because if they are really meant to be mine, they eventually will come back to me, one day.

Sebagai penutup, aku ingin membagikan kutipan yang menurutku sangat bagus untuk diaplikasikan ke dalam hidup kita,

Yang kita perlukan dalam hidup ini bukan belajar mendapatkan yang kita inginkan, tapi yang perlu kita pelajari dalam hidup ini adalah belajar mengikhlaskan keinginan kita.” -Adjie Santosoputro.

 

(Sebagian besar isi tulisan ini dibuat berdasarkan apa yang saya tangkap dalam sesi “Baca Bareng Indry: Merawat Bahagia” di Inspigo.)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *