Jogjakarta

The real title is:

Jogjakarta

Ada satu topik obrolan yang menurutku cukup menarik untuk di bahas. Sore itu aku bersama temanku sedang makan di warung Nasi Bambu. Aku lupa bagaimana caranya topik pembicaraan tentang Tempo Gelato bisa berakhir pada topik situasi Jogja sekarang ini.

Sebenarnya menurutku pribadi perubahan Kota Pelajar ini sudah terlihat sejak awal tahun 2013. Jumlah kendaraan di jalanan Jogja semakin bertambah dan jalanan pun mulai ramai. Sayangnya situasi ini semakin parah, terlebih sekarang ini jumlah mobil seperti mikrobia. Entah kapan mereka membelah diri hingga sebanyak itu. Kalau kalian perhatikan dulu Jakal itu hanya ramai di saat jam kuliah dan pulang kuliah. Itu pun tidak sampai macet. Sekarang? Aku hanya bisa menatap jalan itu dengan malas.

Ada satu kalimat yang dicetuskan oleh temanku, “Jogja sekarang ini budayanya sudah mati.” Jogja yang sekarang itu tidak ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya. Aku tambahkan, Jogja yang sekarang tidak cocok lagi menyandang daerah istimewa.

Bagi kalian para mahasiswa pendatang sepertiku, angkatan 2011 dan sebelum-sebelumnya, apakah yang membuat Jogja itu berbeda dengan kota-kota lainnya di mata kalian?

Yang aku lihat saat itu dan yang sangat kentara adalah hampir seluruh aktivitas seolah mati tepat pukul 9 malam. Bahkan kampung halamanku yang hanya menyandang daerah kabupaten saja masih terlihat lalu-lalang kendaraan dan orang di jam yang sama. Toko-toko masih ada yang buka. Tapi, Jogja? Aku ingat Plaza Ambarukmo pun tutup pada jam itu. Bagaimana sekarang?

Yang aku amati saat itu kos-kosan di Jogja sederhana, masih banyak kosan dengan harga sewa di bawah lima ratus ribu, bahkan lima ratus ribu pun sudah mahal harganya dan sebagian besar ada jam malam. Sekarang?

Yang aku dengar waktu itu Jogja itu seperti Bali, tidak boleh ada gedung tinggi. Alasan yang pernah aku dengar adalah agar tidak menutupi sinar matahari rumah penduduk. Tapi sekarang? Banyak sekali bukan hotel-hotel tinggi yang di bangun. Aku akui saat pertama kali aku datang ke kota ini aku bingung, kenapa tidak ada apartmen di kota ini? Dan sekarang aku malah bingung kenapa apartmen mulai banyak di bangun di kota ini?

Yang aku alami, satu semester pertama kuliah disini aku sempat roaming karena percakapan sehari-hari orang di sekitarku menggunakan Bahasa Jawa. Bahkan saat kuliah aku hanya bisa bengong disaat yang lain tertawa karena candaan dosen yang menggunakan Bahasa Jawa. Aku dituntut untuk mengerti Bahasa Jawa agar dapat memahami yang mereka katakan.

Kalau kalian diberi pertanyaan apa yang membuat kota ini istimewa, apa yang akan kalian jawab? Apakah masih bertahan hingga saat ini? Perkembangan suatu kota itu memang baik, tapi kalau perkembangan itu mematikan kebudayaan yang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu? Aku tidak akan menuliskan jawabannya.

Coba kita lihat lirik lagu ‘Kapan ke Jogja Lagi”, disana tertulis: “Jogja itu menyenangkan, tempat buat belajar”. Dari sisi akademis kita masih bisa belajar, tapi dari sisi budayanya? Apakah mereka yang baru saja menjejakan kaki di Jogja dapat menjadikan kota ini untuk belajar? Yang ada kota ini yang menuruti tuntutan dan memanjakan mereka.

Ada lagi tertulis, “Jogja itu lestari.” Apakah benar Jogja masih lestari? Dan ada lagi, “Jogja itu berhati nyaman.” Apakah Jogja masih berhati nyaman? Mungkin iya bagi yang baru saja datang, tapi bagi yang sudah lama tinggal disini?

Ini hanyalah sebagian pikiran-pikiran yang muncul karena perubahan pesat Jogja. Dan ternyata tak sedikit juga temanku yang berpikiran sama. Mungkin juga ada yang sependapat, mungkin juga ada yang menentang keras. Tidak apa-apa karena tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk mendikte, tapi untuk menjadi bahan renungan bagi yang membaca.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *